Sejarah Singkat Tentang Tarekat Satariyyah Secara Umum
Tarekat
Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India
pada abad ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan
dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih
dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah.
Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.
Kedua
nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai
tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat
Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi
mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang
memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan
praktik.
Hanya sedikit yang dapat diketahui
mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin
Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di salah satu tempaat di
sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi
anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.
Nisbah
asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan
nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati
di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah),
juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual
yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak
dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri,
menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi
setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hierarki yang sama,
kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam
tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan
af’al diri (wujud jiwa raga).
Namun
karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah
kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan
Tarekat Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh
gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke
Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia
memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak
diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya
semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin
mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas
inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya
(1428).
Sepeninggal Abdullah
asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya,
terutama Muhammad A’la, sang Bengali, yang dikenal sebagai Qazan
Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan
menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri
adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari sang
pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah,
yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah
Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah
seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia
lama. Sampai akhir abad ke-16, tarekat ini telah memiliki pengaruh yang
luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke
Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.
Tradisi
tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh
sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid
Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja
mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya,
sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini
disebarluaskan dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh
murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang
khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat
tersebut, seorang guru asal Palestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).
Setelah
Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki,
tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat
Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.
Dua
orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim
al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul
Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab
terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya
Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek
tentang wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri
(w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat
al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat tujuh ini lebih
populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van
Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan menarik
dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga
kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan
Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya
yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga
oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat
tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai
apakah Syamsuddin menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama
setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat populer di kalangan
orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah Arab.
Abdul
Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di
Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut
ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia
menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh
agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia
kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan
cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang
menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera
Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren
Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul
Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh
Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari
Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin
menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan
Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat
ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai
tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara
berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah
berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang
didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan
populer orang Jawa.
perjalanan spiritual tarekat
satariyyah hingga sampai kini pada era globalisasi telah terbit
spiritual tarekat satariyyah wa nufusiyyah di umbul sariyi al-jatisi
madyuni. yang akan di jelaskan oleh hamba Allah ISA AL-ANSHORIY
NOR MUHAMMAD AR-RUSNI IBNU MATARJA IBNU ABDURROHIM IBNU NUR KHOYZIN
UMBULSARIY AL-MADYUNI tentang sejarah singkat lahirnya nufusiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar