KEUNGGULAN ISLAM | |||
Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in | |||
|
|||
Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Para ahli qira'at sab'ah dan jumhurul ulama membacanya dengan memberikan tasydid pada huruf ya' pada kata iyyaka dibaca dengan memfathahkan huruf nun
yang pertama, menurut bacaan seluruh ahli qira'at. Menurut bahasa, kata
ibadah berarti tuntuk patuh. Sedangkan menurut syariat, ibadah berarti
ungkapan dari kesempurnaan cinta, ketundukan, dan ketakutan.
Didahulukannya maf'ul (objek), yaitu kata iyyaka,
dan (setelah itu) diulangi lagi, adalah dengan tujuan untuk mendpatkan
perhatian dan juga sebagai pembatasan. Artinya, "Kami tidak beribadah
kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Mu."
Dan inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan dien (agama) itu secara
keseluruhan kembali kepada kedua makna di atas.
Yang demikian itu seperti kata sebagian ulama salaf,
bahwa surat Al-Fatihah adalah rahasia Alquran, dan rahasia Al-Fatihah
terletak pada ayat Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in (Hanya Engkaulah yang kami ibadahi dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Penggalan pertama, yakni "Hanya kepada-Mu kami
beribadah" merupakan pernyataan lepas dari kemusyrikan. Sedangkan pada
penggalan kedua, yaitu, "Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan"
merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekutan serta berserah diri
kepada Allah SWT.
Makna seperti ini tidk hanya terdapat dalam satu ayat Alquran saja, seperti firman-Nya, "Maka beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lali dari apa yang kamu kerjakan." (Huud: 123).
Dalam ayat tersebut (Al-Fatihah: 5) terjadi perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhathab (orang kedua, lawan bicara) yang ditandai dengan huruf kaf pada kata iyyaka.
Yang demikian itu memang selaras karena ketika seorang hamba memuji
kepada Allah, maka seolah-olah ia merasa dekat dan hadir di hadapan-Nya.
oleh karena itu, Dia berfirman, "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in."
Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa pada
awal-awal surat Al-Fatihah merupakan pemberitahuan dari Allah SWT yang
memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang
Agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan
pujian tersebut.
Dalam shahih Muslim, diriwayatkan dari al-'Ala' bn
Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda,
"Aku telah membagi salat dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Bagi
hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan, 'Segala puji bagi
Allah, Rabb semesta alam', maka Allah berfirman, 'Hambaku telah
memuji-Ku'. Dan jika ia mengucapkan, 'Yang menguasai hari pembalasan',
maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah memulikan-Ku'. Jika ia
mengucapkan, 'Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan', maka Allah berfirman, 'Inilah bagian
antara hamba-Ku dan diri-Ku. Untuk hamba-Ku apa yang ia minta'. Dan jika
ia mengucapkan,'"Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau enugerahkan
nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nashrani)', maka Allah berfirman,
"Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku pula apa yang ia minta'."
Iyya kana'budu didahulukan dari wa iyya kanasta'in,
karena ibadah kepada-Nya memrupakan tujuan, sedangkan permohonan
pertolongan merupakan sarana untuk beribadah. Yang terpenting lebih
didahuukan dari sekedar penting, wallahu a'lam.
Jika ditanyakan, lalu apa makna huruf nun pada firman Allah SWT, "Iyyakana'budu wa iyya kanasta'in," jika nun
itu dimaksudkan sebagai bentuk jama', padahal orang yang mengucpkan
hanya satu orng, dan jika untuk pengagungan, maka yang demikian itu
tidak sesuai dengan kondisi?
Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa yang dimaksudkan dengan huruf nun
(kami) itu adalah untuk memberitahukan mengenai jenis hamba, dan orang
yang salat merupakan salah satu darinya, apalagi jika orang-orang
melakukannya secara berjamaah. Atau, imam dalam salat memberitahukan
tentang dirinya sendiri dan juga saudara-saudaranya yang beriman tentang
ibadah, yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan.
Ibadah merupakan maqam (kedudukan) yang sangat
agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, karena
keberpihakannya kepada Allah Ta'ala saja, dan Dia telh menyebut
Rasul-Nya sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang mulia. Firman
Allah, "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam." (Al-isra': 1).
Allah telah menyebutkan Muhammad saw sebagai seorang
hamba ketika menurunkan Alquran kepadanya, ketika beliau menjalankan
dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia
membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya
merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya, Dia
berfirman, "Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi
sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan
memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud
(salat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal)." (Al-Hijr: 97 -- 99).
Sumber: Terjemahan Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir), Tim Pustaka Imam as-Syafi'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar