Tarekat Syattariyah
Alhamdulillah saya ditakdirkan Allah dapat menerima tarekat Syattariyah dari Syeikhuna Syeikh Salleh Musa Sik Kedah Malaysian yang beliau terima dari gulu mulai beliau ALLAHYARHAM SYEIKH WAN ISMAIL
(PA DA EIL MAKKAH )
...tujuan saya adalah untuk berbagi ilmu dengan
saudara-saudara , tidak ada niat lain kecuali untuk tujuan dakwah
semata-semata kerana keredaan ALLAH SWT
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15.
Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya,
Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah)
dengan nama Isyqiyah.
Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini
disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid
al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya.
Akan tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya
sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun.
A. ISI AJARAN TAREKAT SYATTARIYAH
1. Hubungan Antara Tuhan dengan Alam
Menurut ajaran tarekat Syattariyah, alam diciptakan oleh Allah dari Nur
Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, alam berada
di dalam ilmu Allah yang diberi nama A’yan Tsabitah.
la merupakan
bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada
A’yan Kharijiyyah (kenyataan yang berada di luar), maka A’yan
Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki
bayang-bayang, dan ia tiada lain daripada-Nya.
Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh, antara lain:
a. Pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa
bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah
kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu
berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu
tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan
dari seorang saja.
b. Kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan,
sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan itu sendiri tetapi ia termauk
dari tangan itu juga.
c. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu
mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan
tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada
dzatnya dan hapus di dalam dirinya. Padahal hakikat huruf Arab itu
bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam
ilmunya), yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid.
Sesuai dengan dalil Fa al-kullu Huwa al-Haqq, artinya ‘Adanya segala
sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar’.
2. Dzikir dalam Tarekat Syattariyah
a. Aturan-aturan berdzikir
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu
pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati,
tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah
percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan
tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang
ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum
sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai
kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar
(orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu
ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini,
yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla,
dzikir, dan musyahadah.
b. Tingkatan dzikir
Pelaksanaan dzikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga
tataran, yaitu: mubtadi (tingkat permulaan), mutawasitah (tingkat
menengah), dan muntahi (tingkat terakhir). Tataran ini dapat dicapai
oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat, yaitu ma’rifat
tanziyyah dan ma’rifat tasybiyyah. Ma’rifat tanziyyah adalah ‘suatu
iktikad bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun’. Pada
makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya.
Sedangkan ma’rifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengiktikadkan
bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala
sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya.
c. Macam-macam dzikir
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai
tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan
tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar
cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat
dengan mengendalikan tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai
berikut:
1) Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu
kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan
nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan
illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira
dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2) Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan
lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya,
illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya
Asma Allah.
3) Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4) Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan
ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya
hidup dan kehidupan manusia.
5) Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil
dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas
pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh
Cahaya Illahi.
6) Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil
dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini
dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi
sebagai insan Cahaya Illahi.
7) Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan
mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju
ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah
jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami
(terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.
Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1) Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki
sifat-sifat senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam,
bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2) Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat
nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak
tahu kewajiban.
3) Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu
kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah
lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4) Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah
susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah,
syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5) Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6) Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya:
berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan
makhluk.
7) Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok.
1) Menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya,
seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
2) Menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
3) Menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat
tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai
urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus
menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh
dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan
dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani
maupun ruhani.
d. Syarat-syarat berdzikir
Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani
dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah: makanan yang dimakan
haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah
hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau
syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan
diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap
tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan
penyiksaan diri; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat,
mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari
rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang
terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias
dan memakai pakaian berjahit.
B. SANAD ATAU SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau
silsilah para guru atau wasithah-nya yang bersambungan sampai kepada
Rasulullah SAW.
Di dalam tarekat ini, wasithah dianggap berhak dan sah
apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak
putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini
dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah; dan
memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun
(mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan
menyempurnakan).
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithah-nya di Indonesia:
1. Nabi Muhammad SAW kepada
2. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada
3. Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada
4. Imam Zainal Abidin, kepada
5. Imam Muhammad Baqir, kepada
6. Imam Ja’far Syidiq, kepada
7. Abu Yazid al-Busthami, kepada
8. Syekh Muhammad Maghrib, kepada
9. Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada
10. Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada
11. Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada
12. Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada
13. Syekh Muhammad Asyiq, kepada
14. Syekh Muhammad Arif, kepada
15. Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada
16. Syekh Hidayatullah Saramat, kepada
17. Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada
18. Syekh Muhammad Ghauts, kepada
19. Syekh Wajihudin, kepada
20. Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada
21. Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada
22. Syekh Muhammad Ibnu Muhammad,
23. Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada
24. Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai
25. Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada
26. Kiai Mas Bagus Nida’ (Muhyiddin) di Safarwadi, kepada
27. Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada
28. Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada
29. Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada
30. Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada
31. Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada
32. Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada
33. Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada
34. Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada
35. Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada
36. Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada
37. Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada
38. Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada
39. Kiai Muh. Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada
40. KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
C. HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT SYATTARIYAH
Sebelum diuraikan tentang Hubungan Antara Syariat dengan tarekat
Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian
syariat dan tarekat.
Ulama mutaakhirin memberikan istilah syariat sama dengan hukum fikih
yaitu ‘peraturan yang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin
berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’.
Peraturan itu disusun
secara terperinci yang berhubungan dengan tatacara peribadatan,
prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai
hal-hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar
dan yang salah.
Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ”Tariqatun” yang berarti
‘jalan atau mazab’ atau ‘cara’. Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai
suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan
untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing oleh seorang guru/mursyid
yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi
Muhammad Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek
batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak dzikir
kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan
teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin.
Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:
1. Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah
2. Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah
3. Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah
1. Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara
pelaksanaan dzikir.
Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan
tentang masalah dzikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat
yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya.
Hal ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan dzikir (secara luas) memiliki kedudukan
yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya.
Pelaksanaan dzikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar
(bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati)
Pembacaan dzikir secara
bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui
dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam.
Sedangkan pembacaan dzikir
dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam,
dan ini didasarkan pada firman Allah:
Berdzikirlah kau dengan hatimu
secara merendahkan diri dan rasa takut, dzikir itu tidak diucapkan
secara lisan.
Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Baihaqi sebagai berikut:
Dzikir yang tidak terdengar oleh Malaikat
Hafazhah itu lebih utama daripada dzikir secara bersuara, dengan
perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma’u hu
1-Hafazhatu yazidu ‘ala dz-dzikri l-ladzi tasma’u hu l-Hafazhatu bi
sab’ina dhi’fan).
2. Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut.
a. Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinya,
‘Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia
dibimbing oleh setan’.
b. Hadis Nabi: Kun ma’a’I-Laah fa in lam takun ma’a ‘I-Laah fa kun ma’a
man ma’a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya ‘Hendaklah
kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan
orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah’.
c. Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh ‘Waliyyam Mursyida’ (pembimbing kerohanian).
d. Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
carilah ‘Al-Wasilah’ (Channel..berfungsi sebagai pembimbing, bukan
perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu
sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).
3. Tujuan pengamalan dzikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk
mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim
menurut ukuran manusia).
Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang,
jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan
makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal
secara lahiriah dan batiniah).
Hal ini didasarkan pada firman Allah di
dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha
Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.
D. MAKNA MAKRIFAT DALAM SYATTARIYAH
Di dalam naskah Syattariyah dikemukakan tentang tiga pengertian ma’rifat yaitu:
1. Makrifat Tanziyyah adalah pengetahuan makrifat yang diperoleh dengan
cara memperhatikan/mempelajari segala sesuatu dari segi
batiniah/hakikatnya. Orang yang memiliki makrifat ini mengiktikadkan
bahwa Allah tidak dapat diserupakan dengan sesuatu apapun. Hal ini
didasarkan pada Alquran surat Asy-Syura: 11.
2. Makrifat Tasybiyyah adalah ma’rifat yang diperoleh dengan cara
mempelajari segala sesuatu dari segi lahiriahnya. Di dalam makrifat ini
mereka mengiktikadkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Mendengar dan Maha
Melihat (Q.S.Asy-Syura: 11).
3. Himpunan antara makrifat Tanziyyah dan Tasybiyyah, yaitu makrifat
yang diperoleh oleh orang-orang sufi dengan cara mempelajari segala
sesuatu dari segi lahiriah dan batiniahnya. Makrifat inilah yang
dianggap sempurna oleh orang-orang sufi, hal ini didasarkan kepada
firman Allah bahwa “Ia (Maha Kuasa) terhadap hal-hal yang lahir dan yang
batin (Q.S. Al-Hadid: 3). Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syech Abu
Sa’id Al-Harazi bahwa ”Hakikat ke-Tuhanan itu dapat dikenal meialui
pemaduan dari dua hal yang bertentangan” (hal. 18).
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa fungsi khusus
naskah Syattariyah adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca
tentang masalah ketauhidan dan hal ihwal ma’rifat.
Referensi
Abdullah, Hawash. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al Ikhlas.
Abdurrauf Singkil dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrauf_Singkil diakses tangal 10 Februari 2009
Istadiyantha. 2006. Fungsi Tarekat Syattariyah: Suatu Telaah Filologis.
Solo. dalam http://istayn.files.wordpress.com/2007/12/pibsi-2006.doc
diakses tanggal 15 Maret 2009.
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar